Newest Post

Kerajaan Samudera Pasai

| Selasa, 17 Desember 2013
Baca selengkapnya »
Kerajaan Samudera Pasai terletak di Aceh, dan merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia. Kerajaan ini didirikan oleh Meurah Silu pada tahun 1267 M. Bukti-bukti arkeologis keberadaan kerajaan ini adalah ditemukannya makam raja-raja Pasai di kampung Geudong, Aceh Utara. Makam ini terletak di dekat reruntuhan bangunan pusat kerajaan Samudera di desa Beuringin, kecamatan Samudera, sekitar 17 km sebelah timur Lhokseumawe. Di antara makam raja-raja tersebut, terdapat nama Sultan Malik al-Saleh, Raja Pasai pertama. Malik al-Saleh adalah nama baru Meurah Silu setelah ia masuk Islam, dan merupakan sultan Islam pertama di Indonesia. Berkuasa lebih kurang 29 tahun (1297-1326 M). Kerajaan Samudera Pasai merupakan gabungan dari Kerajaan Pase dan Peurlak, dengan raja pertama Malik al-Saleh.
Seorang pengembara Muslim dari Maghribi, Ibnu Bathutah sempat mengunjungi Pasai tahun 1346 M. ia juga menceritakan bahwa, ketika ia di Cina, ia melihat adanya kapal Sultan Pasai di negeri Cina. Memang, sumber-sumber Cina ada menyebutkan bahwa utusan Pasai secara rutin datang ke Cina untuk menyerahkan upeti. Informasi lain juga menyebutkan bahwa, Sultan Pasai mengirimkan utusan ke Quilon, India Barat pada tahun 1282 M. Ini membuktikan bahwa Pasai memiliki relasi yang cukup luas dengan kerajaan luar
Pada masa jayanya, Samudera Pasai merupakan pusat perniagaan penting di kawasan itu, dikunjungi oleh para saudagar dari berbagai negeri, seperti Cina, India, Siam, Arab dan Persia. Komoditas utama adalah lada. Sebagai bandar perdagangan yang besar, Samudera Pasai mengeluarkan mata uang emas yang disebut dirham. Uang ini digunakan secara resmi di kerajaan tersebut. Di samping sebagai pusat perdagangan, Samudera Pasai juga merupakan pusat perkembangan agama Islam.
Seiring perkembangan zaman, Samudera mengalami kemunduran, hingga ditaklukkan oleh Majapahit sekitar tahun 1360 M. Pada tahun 1524 M ditaklukkan oleh kerajaan Aceh.
Silsilah
1. Sultan Malik al-Saleh (1267-1297 M)
2. Sultan Muhammad Malikul Zahir (1297-1326 M)
3. Sultan Ahmad Laidkudzahi
4. Sultan Zainal Abidin Malik al-Zahir (1383-1405 M)
5. Sultan Shalahuddin (1405-1412 M)
Periode Pemerintahan
Rentang masa kekuasan Samudera Pasai berlangsung sekitar 3 abad, dari abad ke-13 hingga 16 M.
Wilayah Kekuasaan
Wilayah kekuasaan Pasai mencakup wilayah Aceh ketika itu.
Kehidupan Sosial-Budaya

Telah disebutkan di muka bahwa, Pasai merupakan kerajaan besar, pusat perdagangan dan perkembangan agama Islam. Sebagai kerajaan besar, di kerajaan ini juga berkembang suatu kehidupan yang menghasilkan karya tulis yang baik. Sekelompok minoritas kreatif berhasil memanfaatkan huruf Arab yang dibawa oleh agama Islam, untuk menulis karya mereka dalam bahasa Melayu. Inilah yang kemudian disebut sebagai bahasa Jawi, dan hurufnya disebut Arab Jawi. Di antara karya tulis tersebut adalah Hikayat Raja Pasai (HRP). Bagian awal teks ini diperkirakan ditulis sekitar tahun 1360 M. HRP menandai dimulainya perkembangan sastra Melayu klasik di bumi nusantara. Bahasa Melayu tersebut kemudian juga digunakan oleh Syaikh Abdurrauf al-Singkili untuk menuliskan buku-bukunya.
Sejalan dengan itu, juga berkembang ilmu tasawuf. Di antara buku tasawuf yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu adalah Durru al-Manzum, karya Maulana Abu Ishak. Kitab ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Makhdum Patakan, atas permintaan dari Sultan Malaka. Informasi di atas menceritakan sekelumit peran yang telah dimainkan oleh Samudera Pasai dalam posisinya sebagai pusat tamadun Islam di Asia Tenggara pada masa itu.


Kerajaan Samudera Pasai

Posted by : Unknown
Date :Selasa, 17 Desember 2013
With 0komentar

Sumpah Wali Nanggroe ke-9

|
Baca selengkapnya »
Malik Mahmud Al Haythar akhirnya mengucapkan sumpahnya sebagai Wali Nanggroe Aceh ke-9. Wali yang bergelar Al Mukarram Maulana Al Mudabbir Al Malik ini, menggantikan Wali Nanggroe ke-8 Dr Tgk Hasan Muhammad di Tiro yang wafat 3 Juni 2010. Pengukuhan Malik berlangsung dalam Sidang Paripurna Istimewa Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) di Gedung Utama Dewan di Jl Tgk Daud Beureueh.
Sumpah tersebut tertera di atas sebuah naskah bersampul merah yang ditulis dalam dua versi Bahasa Arab dan terjemahannya dalam Bahasa Indonesia. Tampak juga sebuah Alquran kuning emas di antara naskah sumpah yang dibacakan Malik Mahmud.

Inilah teks sumpah Wali Nanggroe ke-9:
"Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah Dan Saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad itu adalah Utusan Allah.

Demi Allah.. Demi Allah.. Demi Allah..
Saya bersumpah dengan nama Allah seraya Alquran yang mulia di tangan saya Bahwa akan saya serahkan nyawa, darah, dan harta saya untuk Aceh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya dan pemimpinmu Wahai orang-rang yang beriman, penuhilah janji-janjimu Bagi orang yang melanggar janji yang telah dia janjikannya dengan Allah Maka akan dilaknati oleh Allah dan dimasukkannya ke dalam api neraka Penuhilah janjimu, sebab janjimu akan diminta pertanggungjawabannya di akhirat Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman Dan orang-orang yang memelihara amanah dan janjinya.

Aceh :  Isnin   11 Shafar 1435 H
 Senin  16 Desember 2013 M

Sumpah itu ditandatangani oleh Tengku Malik Mahmud Al-Haythar selaku Wali Nanggroe dan dua saksi yakni, Gubernur Aceh Dr H Zaini Abdullah dan Ketua DPR Aceh, Drs H Hasbi Abdullah MS.


Sumpah Wali Nanggroe ke-9

Posted by : Unknown
Date :
With 0komentar

Kerajaan Lingga

| Senin, 16 Desember 2013
Baca selengkapnya »
Kerajaan Lingga atau dalam bahasa gayo linge (Suara) di tanah Gayo, menurut M. Junus Djamil dalam bukunya "Gajah Putih" yang diterbitkan oleh Lembaga Kebudayaan Atjeh pada tahun 1959, Kutaraja, men
gatakan bahwa sekitar pada abad ke-11 (Penahunan ini mungkin sangat relatif karena kerajaan Lamuri telah eksis sebelum abad ini, penahunan yang lebih tepat adalah antara abad ke 2-9 M), Kerajaan Lingga didirikan oleh orang-orang Gayo pada era pemerintahan Sultan Machudum Johan Berdaulat Mahmud Syah dari Kerajaan Perlak. Informasi ini diketahui dari keterangan Raja Uyem dan anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesan dan dari Zainuddin yaitu dari raja-raja Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa sebagai raja di era kolonial Belanda.
Raja Lingga I, disebutkan mempunyai 6 orang anak. Yang tertua seorang wanita bernama Empu Beru atau Datu Beru, yang lain Sebayak Lingga, Meurah Johan dan Meurah Lingga, Meurah Silu dan Meurah Mege.
Sebayak Lingga kemudian merantau ke tanah Batak leluhurnya tepatnya di Karo dan membuka negeri disana dan dikenal dengan Raja Lingga Sibayak. Meurah Johan mengembara ke Aceh Besar dan mendirikan kerajaannya yang bernama Lamkrak atau Lam Oeii atau yang dikenal dengan Lamoeri dan Lamuri atau Kesultanan Lamuri atau Lambri. Ini berarti kesultanan Lamuri di atas didirikan oleh Meurah Johan sedangkan Meurah Lingga tinggal di Linge, Gayo, yang selanjutnya menjadi raja Linge turun termurun. Meurah Silu bermigrasi ke daerah Pasai dan menjadi pegawai Kesultanan Daya di Pasai. Kesultanan Daya merupakan kesultanan syiah yang dipimpin orang-orang Persia dan Arab.
Meurah Mege sendiri dikuburkan di Wihni Rayang di Lereng Keramil Paluh di daerah Linge. Sampai sekarang masih terpelihara dan dihormati oleh penduduk. Penyebab migrasi tidak diketahui. Akan tetapi menurut riwayat, dikisahkan bahwa Raja Lingga lebih menyayangi putra bungsunya Meurah Mege. Sehingga membuat anak-anaknya yang lain lebih memilih untuk mengembara.
Dinasti Lingga
1. Raja Lingga I di Gayo
  • Raja Sebayak Lingga di Tanah Karo. Menjadi Raja Karo
  • Raja Marah Johan (pendiri Kesultanan Lamuri)
  • Marah Silu (pendiri Kesultanan Samudera Pasai), dan
2. Raja Lingga II alias Marah Lingga di Gayo
3. Raja Lingga III-XII di Gayo
4. Raja Lingga XIII menjadi Amir al-Harb Kesultanan Aceh, pada tahun 1533 terbentuklah Kerajaan Johor baru di Malaysia yang dipimpin oleh Sultan Alauddin Mansyur Syah.
Raja Lingga XIII diangkat menjadi kabinet di kerajaan baru tersebut. Keturunannya mendirikan Kesultanan Lingga di kepulauan Riau, pulau Lingga, yang kedaulatannya mencakup Riau (Indonesia), Temasek (Singapura) dan sedikit wilayah Malaysia.
Raja-raja di Sebayak Lingga Karo tidak terdokumentasi. Pada era Belanda kembali diangkat raja-rajanya tapi hanya dua era yaitu:
1. Raja Sendi Sibayak Lingga. (Pilihan Belanda)
2. Raja Kalilong Sibayak Lingga


Kerajaan Lingga

Posted by : Unknown
Date :Senin, 16 Desember 2013
With 0komentar

Kerajaan Islam Jaya

|
Baca selengkapnya »
Kerajaan Islam Jaya sebelumnya merupakan Kerajaan Indra Jaya, sebuah kerajaan yang berpusat di Bandar Paton Bie (Sendu). Proses perubahan menjadi sebuah kerajaan Islam diawali dengan mengungsinya rakyat beserta raja Kerajaan Indra Jaya untuk menghindari serangan tentara angkatan laut Negeri Cina dengan panglimanya Liang Khi yang menyerang negeri mereka. Liang Khi kemudian menjadi raja sampai beberapa keturunan di Kerajaan Indra Jaya.
Raja Indra Jaya beserta rombongan pengikutnya yang mengungsi akhirnya menemukan suatu tanah datar yang subur disebelah gunung Geurutee dan kemudian menetap di daerah tersebut. Daerah tersebut dinamai Indra Jaya, yaitu nama lanjutan dari Kerajaannya. Beberapa masa kemudian, Kerajaan Indra Jaya didatangi oleh serombongan Mubaligh dibawah pimpinan Meurah Pupok Teungku Sagop. Mereka kemudian mengembangkan ajaran Islam dan berhasil mengislamkan raja dari Kerajaan Indra Jaya tersebut.
Setelah Raja Indra Jaya mangkat maka Meurah Pupok diangkat menjadi Raja Negeri tersebut, dengan kerajaannya yang bernama Kerjaan Islam Jaya. Diantara raja-raja yang terkenal namanya dari keturunan Meurah Pupok adalah Meureuhhom Onga (Almahrum Onga).
Setelah Raja Onga mangkat, Kerajaan Islam Jaya mengalami kemunduran dan kekacauan, dan akhirnya direbut oleh Raja Inayat Syah dan Puteranya Riayal Syah dari Kerajaan Darussalam. Putera mahkota Riayat Syah diangkat menjadi Raja dari Kerajaan Islam Jaya dengan gelar Sulthan Salathin Riayat Syah sedangkan ayahnya Sulthan Inayat Syah tetap memerintah Kerajaan Darussalam 885–895 H (1480–1490 M). Pada waktu Kerajaan Darussalam diperintah oleh Syamsu Syah 902–916 H (1497–1511 M) terjadi konflik (sengketa) dengan Kerajaan Islam Jaya, bahwa Kerajaan Islam Jaya telah terpengaruh oleh hasutan Portugis. Akhirnya mereka kembali berdamai setelah Sulthan Syamsu Syah yang bernama Raja muda Ali Mukhayat Syah mengawini Puteri Raja Jaya yang bernama Puetri Hur. Tanggal 7 Rajab 913 H (12 November 1508) Sulthan Salathin Syah mangkat. Ia dikenang dengan nama Meuhom Jaya.


Kerajaan Islam Jaya

Posted by : Unknown
Date :
With 0komentar

ASAL MULA KONFLIK ACEH

| Sabtu, 07 Desember 2013
Baca selengkapnya »



Mungkin sudah digariskan, Aceh menjadi daerah konflik sepanjang masa. Hal ini terlihat dari sebuah buku karangan Anthony Reid, seorang ahli sejarah Asia Tenggara yang pernah belajar di Selandia Baru dan Cambridge. Dalam buku yang diberi judul “Asal Mula Konflik Aceh” itu disebutkan bahwa Aceh sudah bergejolak dalam konflik sebelum bergabung bersama Indonesia hingga akhir abad 19, saat Aceh ditetapkan menjadi salah satu wilayah Kesatuan Republik Indonesia, pun Aceh dalam konflik.

Menurut Reid, dalam buku itu, jika pada tahun 1870-an, orang Aceh pernah menjadi korban agresi Belanda dan realpolitik Inggris, selanjutnya Aceh juga menjadi korban tak berdosa dari negara yang merangkulnya menjadi sebuah wilayah kesatuan republik. Tak cukup sampai di situ, kekaguman Reid, yang saat ini menjadi Direktur Asia Research Intitute di National of Singapore, mengatakan bahwa Aceh sebagai korban tak bersalah juga harus mengalami derita setelah diamuk gelombang tsunami.

Mungkin, anggapan bahwa Aceh adalah laboratorium percobaan memang tepat sekali dan sebagai wadah percobaan, Allah swt. pun melakoni itu. Lihat saja, gejolak kekacauan di Aceh belum pudar hingga sekarang. Jika zaman indatu Aceh dicoba dengan perang melawan kaphé Beulanda, setelah Belanda angkat kaki dari Bumi Fansuri ini, perang tetap berlanjut. Perang cumbok hingga pemberontakan DI/TII merupakan percobaan demi percobaan untuk Aceh. Setelah merdeka pun, perang masih juga ada. 

Kemudian, Aceh dicoba melalui metode baru, yakni air laut naik ke darat. Pasca-air laut naik, pun kenyataannya konflik masih juga belum berakhir di Bumi Iskandar Muda ini. Masalah pembagian bantuan kepada korban bencana saja, tetap menimbulkan konflik. Hal itu masih ada sampai sekarang. Demikian hebatnya Aceh dalam konflik hingga daerah ini pun mendapat gelar sebagai laboratorium percobaan atau mungkin pula sebagai laboratorium konflik, sehingga Indonesia yang mengakui Aceh sebagai salah satu wilayah kesatuannya, pun ikut-ikutan menggelar percobaan di Aceh. 

Percobaan ala Indonesia itu sangat jelas dengan beberapa ketetapan dan kebijakan untuk Aceh semisal dicoba beri julukan daerah istimewa, lantas dicoba dengan kebijakan syariat Islam, mungkin pula penerapan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU PA) juga salah satu percobaan Indonesia apakah Aceh mampu mengelola daerahnya atau tidak.

Kendati mengalami gejolak percobaan panjang dan berliku, bermula konflik di Aceh, menurut buku Reid ini, Aceh tidak pernah menjadi pemberitaan utama dunia. Melatarbelakangi anggapan tersebutlah, Reid akhirnya memutuskan untuk mengadakan penelitian tentang Aceh. Penelitian tersebut dirangkumnya menjadi sebuah disertasi pendidikannya saat di Cambridge University. Disertasi doktoral itu kemudian dijadikannya sebuah buku bertajuk “Asal Mula Konflik Aceh”.

Laiknya sebuah disertasi, data dan fakta dalam buku ini juga dapat dijadikan sebagai pembenaran terhadap kisah panjang konflik di Aceh. Mulanya disertasi tersebut masih dalam bahasa Inggris. Agar dapat dibaca oleh bangsa Melayu pada umumnya dan Indonesia (Aceh ) khusunya, disertasi tersebut diterjemahkan oleh Masri Maris dan diterbitkan oleh Yayasan Obor. Penerjemahan disesuaikan dengan kondisi realitas yang ada. Hal ini diakui langsung oleh Masri dalam pengantarnya terhadap buku tersebut. Kendati demikian, teks asli dari disertasi Reid masih utuh, sebab ia diterjemahkan dengan utuh. “Kecuali judulnya,” tulis Masri.

Buku setebal 372 halaman itu juga dilengkapi dengan lampiran foto-foto sejarah Aceh masa lampau, data statistik penduduk Belanda di Aceh semasa menjajah daerah ini—baik yang tewas dalam perang maupu karena penyakit, dan sebagainya. Kecuali itu, buku ini juga dilampiri dengan statistik perdagangan Aceh masa silam semisal perdagangan Penang dan Aceh, juga dilengkapi dengan indeks.

Sebagai sebuah buku sejarah, “Asal Mula Konflik Aceh” ini penting dibaca oleh siapa saja, terutama bagi peneliti yang hendak tahu lebih banyak tentang Aceh, agresi militer, dan geliat Belanda dalam menerapkan politik perdagangannya hingga menjadi bangsa penjajah. Belanda dikenal orang Aceh dengan kelicikan pola pemerintahan dan pertaniannya diulas secara rinci oleh Reid. Reid mengumpulkan data-data sejarah tersebut dari arsip historis bangsa Eropa (terutama Belanda dan Inggris) sehingga sulit dibantah kebenarannya bahwa Aceh memang daerah modal.

Review Buku : ASAL MULA KONFLIK ACEH

Judul : Asal Mula Konflik Aceh
Sub Judul : Dari Perebutan Pantai Timur Sumatera hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19
Judul Asli : The Contest for North Sumatera: Acheh, the Netherlands and Britain 1858-1898
Hak Cipta : Oxford University Press, 1969 University of Malaya, 1969
Penulis : Anthony Reid
Penerjemah : Masri Maris
Penerbit
: Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Edisi Pertama : Juli 2005
Kategori : sejarah, politik,

ASAL MULA KONFLIK ACEH

Posted by : Unknown
Date :Sabtu, 07 Desember 2013
With 0komentar

Hasan Tiro : “Sebuah Pergulatan Pemikiran”

|
Baca selengkapnya »
Suatu malam, musim panas di Berlin, Juli 2010. Beberapa orang Aceh ingin makan nasi, sebagaimana halnya kebanyakan orang Indonesia, nasi adalah makanan pokok. Didampingi oleh Gunnar Stange seorang peneliti Jerman yang pernah tinggal di Aceh dan Saiful Haq staf FES Indonesia, maka diputuskan untuk berjalan kaki ke rumah makan Turki yang terletak sekitar 300 meter dari Hotel tempat mereka menginap.

Singkat cerita, setelah makan, mereka memutuskan menumpang taxi untuk kembali ke hotel. Ditengah perjalanan, sopir taxi menanyakan tentang identitas rombongan. Suasana menjadi berubah setelah sang sopir mengetahui bahwa yang menumpang taxinya adalah orang dari Aceh, dia menjadi sangat ceria dan gembira bahwa orang aceh menumpang taxinya.

“Tiro, Ja Tiro aus Aceh” katanya dalam bahasa Jerman, maksudnya adalah Hasan Tiro dari Aceh. Rupanya sang Sopir berasal dari bangsa Kurdistan yang sudah sejak lama melawan pemerintahan Turki. Dia bercerita bagaimana mereka, bangsa Kurdistan sangat terinspirasi dengan ide-ide seorang Hasan Tiro. Mereka sangat menghromati Hasan Tiro.

Setelah tiba di hotel, di argometer taxi tersebut tercatat harga yang harus dibayar sejumlah 14,90 Euro atau sekitar 160 ribu rupiah. Sang sopir menolak menerima bayaran, sebagai penghormatan dia terhadap Hasan Tiro. Demikianlah bagaimana seorang yang jauh di benua yang berbeda, mengenal dan menaruh rasa hormat kepada Hasan Tiro, bukan pada sosoknya, tapi inspirasi dari gagasan-gasannya.

 

Gagasan Hasan Tiro tidak diawali semata-mata dengan gagasan pemberontakan, tapi lebih jauh juga memikirkan persoalan bagaimana menyusun tata kelola pemerintahan yang menjamin kesejahteraan bangsa Aceh. Sebagai seorang pegawai Republik Indonesia di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), dia menaruh perhatian dan kegelisahan yang sangat besar dalam hal sikap politik pemerintah pusat terhadap Aceh.

Buku ini menjadi penting dan diterbitkan pada momentum yang tepat, ketika perdamaian telah berlangsung selama 4 tahun, dan komitmen integrasi Aceh terhadap NKRI jelas termaktub dalam MoU Helsinki.

Hasan Tiro telah wafat, namun sejarah pemikirannya, lebih dan kurang, haruslah menjadi referensi yang penting dalam sejarah politik Aceh dan Indonesia. Bukan hanya penting untuk dibaca oleh seluruh akademisi, mahasiswa dan politisi. Tapi terkhusus untuk orang Aceh, buku ini adalah studi kritis mengenai bagaimana pergulatan pemikiran Hasan Tiro dari masa ke masa.

Hasan Tiro adalah inspirasi, tapi juga pada saat yang sama dan tidak kalah pentingnya adalah sebagai rasionalitas yang sangat bergantung pada kondisi politik. Nasionalisme Aceh hanya akan menjadi candu, jika tidak dibarengi dengan rasionalitas dan kearifan bertindak. Semoga perdamaian di Aceh tetap terjaga hingga akhir zaman.

Taufan Damanik, adalah intelektual Sumatera Utara yang sudah sejak lama bersentuhan dengan pergolakan di Aceh. Integritas dan kredibiltas yang dimilikinya semakin menguatkan bahwa buku yang dituliskannya ini merupakan karya ilmiah penting yang layak mendapat sambutan bagi publik Indonesia.



Judul: Hasan Tiro : Dari Imajinasi Negara Islam keImajinasi Etno-Nasionalis
Penulis: Ahmad Taufan Damanik

Hasan Tiro : “Sebuah Pergulatan Pemikiran”

Posted by : Unknown
Date :
With 0komentar

Kenapa Harus Indonesia dan Mengapa Tidak Boleh Aceh?

|
Baca selengkapnya »




Pertanyaan di atas sangat mengusik lubuk hati mereka yang tengah berkuasa dan menikmati kekuasaannya di ibukota Jakarta. Mereka sangat sensitif dengan pertanyaan-pertanyaan seumpama itu karena dalam benak mereka NKRI itu dijadikan harga mati, kalau mati NKRI harus sama-sama mati dengan mereka. Sebetulnya, ditinjau dari sudut manapun juga tidak ada ketentuan yang memberi harga mati kepada NKRI dalam konteks kenegaraan.

Di antara tujuan mendirikan sesuatu negara adalah untuk mensejahterakan rakyatnya, untuk memberi keamanan kepada rakyatnya, untuk memastikan semua hukum dan perundang-undangan berjalan lancar di sana dan untuk memajukan Islam serta meningkatkan iman dan amal shalih bangsanya (khusus buat muslim).

Lalu kalau semakin lama NKRI wujud semakin compang camping dan mengorbankan rakyatnya, maka kenapa harus Indonesia? Kalau semakin lama wujudnya NKRI semakin tidak punya keamanan terhadap rakyatnya, maka mengapa mesti Indonesia? Kalau semakin lama wujud NKRI semua hukum dan perundang-undangannya tidak berjalan semestinya maka kenapa harus Indonesia? Khusus buat muslim dan muslimah, kalau semakin lama bertahannya NKRI semakin hancur Islam dan Hukum Islam di dalamnya, maka kenapa pula harus NKRI?

Sebaliknya; kalau sejarah telah membuktikan bahwa bangsa Aceh telah berjaya mendirikan sebuah negara dan dapat mensejahterakan rakyatnya, maka kenapa tidak boleh Aceh? Kalau sejarah telah mencatat bahwa Kerajaan Aceh Darussalam yang berusia berabad-abad lamanya telah mampu dan sukses memberikan keamanan dan kesejahteraan kepada rakyatnya, maka kenapa pula tidak boleh Aceh? Kalau bangsa Aceh telah berjaya mewujudkan dan mengamalkan Hukum Islam dalam Negara Aceh dahulu kala, maka kenapa mesti bersama Indonesia? Kalau sejarah telah mencatat bahwa bangsa Aceh mampu menyaingi bangsa-bangsa lain di permukaan bumi ini dalam wadah Ke-Aceh-an, maka kenapa harus bersama NKRI?

Sesungguhnya tidak ada seorangpun yang berhak menghambat, melarang atau menyuruh orang Aceh harus begini atau begitu dalam konteks kenegaraan hari ini kalau Indonesia dan prilaku penguasanya masih tetap jahil dan biadab. Hanya ketentuan Allah sajalah yang punya wewenang tinggi untuk mengatur dan mengarahkan kehidupan Bangsa Aceh harus selaras dengannya.

Kalau Bangsa Aceh sudah tercemar dengan gaya hidup mayoritas rakyat Indonesia yang ragu-ragu dengan Hukum Islam, maka Aceh lama kelamaan akan menyatu dan identik dengan Indonesia yang tidak berakar dan tidak berazas yang identitasnya perlu dipertanyakan.

Akibat lama bersama Indonesia wilayah Aceh tidak lagi mencirikan khas Aceh seperti dalam bidang Islam, dalam bidang pendidikan, dalam bidang adat-budaya, dalam bidang sosial kemasyarakatan, politik dan peradaban. Untuk kembali kepada identitas dan digniti Aceh yang orisinal, bangsa ini perlu waktu yang lumayan panjang untuk mengikis susupan-susupan peradaban luar yang kini menyatu dengan kehidupan sebahagian masyarakat kita.

Pengembalian digniti dan identitas tersebut akan cepat prosesnya kalau dilakukan dengan power atau kekuasaan Aceh sendiri. Untuk mewujudkan power tersebut bangsa Aceh harus memiliki pakar dalam berbagai bidang dan harus saling membantu, saling menghargai dan saling memajukan negeri sendiri. Tidak boleh ada orang Aceh yang menyalahkan orang Aceh lainnya karena persoalan khilafiah dan furu�iyah dalam beribadah. Tidak boleh ada orang Aceh yang dengki dan benci kepada orang Aceh lainnya karena tidak mengikuti cara dan amalan hidupnya.

Saling membantu sesama Aceh untuk membolehkan Aceh dalam berbagai sisi kehidupan menjadikan modal penting pengembalian identitas dan digniti Ke-Aceh-an. Sekarang peluang untuk itu sudah terbuka lebar dan menganga dengan ambruknya dua rezim diktator Indonesia (Orde Lama dan Orde Baru). Ditambah lagi dengan terbukanya Aceh kedunia luar sehingga komunikasi luar-dalam Aceh tidak lagi menjadi kendala. Banyaknya pemuda Aceh yang mencicipi pendidikan peringkat master dan doktor di luar negeri menjadi fasilitas tersendiri untuk membolehkan Aceh dan membiarkan Indonesia.

Melihat dari sisi pandang historis Indonesia memang tidak punya dasar sebuah negara yang berdaulat. Namun kajian politis ia telah diwacanakan dan diformatkan oleh para penjajah di periode akhir (Belanda) untuk menjadi sebuah negara yang segala atributnya telah dipasang kaum pejajah biadab.[4]

Hukum yang berlaku di Indonesia adalah Hukum Belanda (Verkelij Wetbook), pendidikan yang wujud di Indonesia adalah sisa-sisa pendidikan Belanda, sistem politik yang ada di Indonesia hingga hari ini adalah sistem politik warisan Belanda dan konsep hidup kebangsaan juga peninggalan Belanda yang semuanya jauh dari konsep Islam yang menyatu dengan Aceh dan Bangsanya.

Ketulusan jiwa-raga para mujahidin Aceh untuk mempertahankan negara ini dengan penuh harapan menjadi negara yang berjalan Hukum Islam telah dipreteli dan dipermainkan penguasa Indonesia semenjak ia merdeka sampai hari ini. Akhirnya, para mujahidin Aceh di periode awal dapat mengawal keutuhan aqidah dan kemantapan syari'ah, namun generasi Aceh hari ini telah gagal mempertahankan keutuhan aqidah dan kesempurnaan syari'ahnya.

Semua itu disebabkan semua anak bangsa Aceh harus tunduk, ikut dan patuh kepada ketentuan NKRI peninggalan dan setting Belanda. Lalu apa yang harus dilakukan sekarang untuk menebus semua kekeliruan it...? jawablah wahai bangsaku.

***


[3] S.S. Djuangga Batubara, Teungku Tjhik Muhammad Dawud di Beureu-�h Mujahid Teragung di Nusantara, Medan: Gerakan Perjuangan dan Pembebasan Republik Islam Federasi Sumatera Medan, 1987, hal., 128.

[4] Untuk kejelasan informasi ini silahkan lihat S.S. Djuangga Batubara, Ibid, hal., 120-125.

Kenapa Harus Indonesia dan Mengapa Tidak Boleh Aceh?

Posted by : Unknown
Date :
With 0komentar

Indatu “Ureung Pidie”

|
Baca selengkapnya »
Selama ini kita mengetahui asal mula daerah Pidie sekarang adalah Kerajaan Poli atau Kerajaan Pedir, Namun ternyata jauh sebelumnya Pidie telah memiliki sebuah Kerajaan yang bernama Kerajaan Sama Indra sebagai cikal bakalnya.
Oleh Iskandar Norman
Sebuah buku lama yang ditulis sejarawan M Junus Djamil yang disusun dengan ketikan mesin tik, mengungkapkan hal itu. Buku dengan judul “Silsilah Tawarick Radja-radja Kerajaan Aceh” Buku yang diterbitkan oleh Adjdam-I/Iskandar Muda tidak lagi jelas tahun penerbitnya. Tapi pada kata pengantar yang ditulis dengan ejaan lama oleh Perwira Adjudan Djendral Kodam-I/Iskandar Muda, T Muhammad Ali, tertera 21 Agustus 1968.

Buku setebal 57 halaman itu pada halaman 24 berisi tentang sejarah Negeri Pidie/Sjahir Poli. Kerajaan ini digambarkan sebagai daerah dataran rendah yang luas dengan tanah yang subur, sehingga kehidupan penduduknya makmur.

Batas-batas kerajaan ini meliputi, sebelah timur dengan Kerajaan Samudra/Pasai, sebelah barat dengan Kerajaan Aceh Darussalam, sebelah selatan dengan pegunungan, serta dengan selat Malaka di sebelah utara.

Suku yang mendiami kerajaan ini berasal dari Mon Khmer yang datang dari Asia Tenggara yakni dari Negeri Campa. Suku Mon Khmer itu datang ke Poli beberapa abad sebelum masehi. Rombongan ini dipimpin oleh Sjahir Pauling yang kemudian dikenal sebagai Sjahir Poli. Mereka kemudian berbaur dengan masyarakat sekitar yang telah lebih dahulu mendiami kawasan tersebut.

Setelah berlabuh dan menetap di kawasan itu (Pidie-red), Sjahir Poli mendirikan sebuah kerajaan yang dinamai Kerajaan Sama Indra. Waktu itu mereka masih menganut agama Budha Mahayana atau Himayana. Oleh M Junus Djamil diyakini dari agama ini kemudian masuk pengaruh Hindu.

Lama kelamaan Kerajaan Sama Indra pecah mejadi beberapa kerajaan kecil. Seperti pecahnya Kerajaan Indra Purwa (Lamuri) menjadi Kerajaan Indrapuri, Indrapatra, Indrapurwa dan Indrajaya yang dikenal sebagai kerajaan Panton Rie atau Kantoli di Lhokseudu.

Kala itu Kerajaan Sama Indra menjadi saingan Kerajaan Indrapurba (Lamuri) di sebelah barat dan kerajaan Plak Plieng (Kerajaan Panca Warna) di sebelah timur. Kerajaan Sama Indra mengalami goncangan dan perubahan yang berat kala itu,

Menurut M Junus Djamil, pada pertengahan abad ke-14 masehi penduduk di Kerajaan Sama Indra beralih dari agama lama menjadi pemeluk agama Islam, setelah kerajaan itu diserang oleh Kerajaan Aceh Darussalam yang dipimpin Sultan Mansyur Syah (1354 – 1408 M). Selanjutnya, pengaruh Islam yang dibawa oleh orang-orang dari Kerajaan Aceh Darussalam terus mengikis ajaran hindu dan budha di daerah tersebut.

Setelah kerajaan Sama Indra takluk pada Kerajaan Aceh Darussalam, makan sultan Aceh selanjutnya, Sultan Mahmud II Alaiddin Johan Sjah mengangkat Raja Husein Sjah menjadi sultan muda di negeri Sama Indra yang otonom di bawah Kerajaan Aceh Darussalam. Kerajaan Sama Indra kemudian berganti nama menjadi Kerajaan Pedir, yang lama kelamaan berubah menjadi Pidie seperti yang dikenal sekarang.

Meski sebagai kerajaan otonom di bawah Kerajaan Aceh Darussalam, peranan raja negeri Pidie tetap dipererhitungkan. Malah, setiap keputusan Majelis Mahkamah Rakyat Kerajaan Aceh Darussalam, sultan tidak memberi cap geulanteu (stempel halilintar) sebelum mendapat persetujuan dari Laksamana Raja Maharaja Pidie. Maha Raja Pidie beserta uleebalang syik dalam Kerajaan Aceh Darussalam berhak mengatur daerah kekuasaannya menurut putusan balai rakyat negeri masing-masing.

Masih menurut M Junus Djamil, setelah Sultan Mahmud II Alaiddin Jauhan Syah raja Kerajaan Aceh Darussalam Mangkat, maka Sultan Husain Syah selaku Maharaja Pidie diangkat sebagai penggantinya. Ia memerintah Kerajaan Aceh dari tahun 1465 sampai 1480 Masehi. Kemudian untuk Maharaja Pidie yang baru diangkat anaknya yang bernama Malik Sulaiman Noer. Sementara putranya yang satu lagi, Malik Munawar Syah diangkat menjadi raja muda dan laksamana di daerah timur, yang mencakup wilayah Samudra/Pase, Peureulak, Teuminga dan Aru dengan pusat pemerintahan di Pangkalan Nala (Pulau Kampey).

***

Indatu “Ureung Pidie”

Posted by : Unknown
Date :
With 0komentar
Next Prev
▲Top▲