Hasan Tiro : “Sebuah Pergulatan Pemikiran”

| Sabtu, 07 Desember 2013
Suatu malam, musim panas di Berlin, Juli 2010. Beberapa orang Aceh ingin makan nasi, sebagaimana halnya kebanyakan orang Indonesia, nasi adalah makanan pokok. Didampingi oleh Gunnar Stange seorang peneliti Jerman yang pernah tinggal di Aceh dan Saiful Haq staf FES Indonesia, maka diputuskan untuk berjalan kaki ke rumah makan Turki yang terletak sekitar 300 meter dari Hotel tempat mereka menginap.

Singkat cerita, setelah makan, mereka memutuskan menumpang taxi untuk kembali ke hotel. Ditengah perjalanan, sopir taxi menanyakan tentang identitas rombongan. Suasana menjadi berubah setelah sang sopir mengetahui bahwa yang menumpang taxinya adalah orang dari Aceh, dia menjadi sangat ceria dan gembira bahwa orang aceh menumpang taxinya.

“Tiro, Ja Tiro aus Aceh” katanya dalam bahasa Jerman, maksudnya adalah Hasan Tiro dari Aceh. Rupanya sang Sopir berasal dari bangsa Kurdistan yang sudah sejak lama melawan pemerintahan Turki. Dia bercerita bagaimana mereka, bangsa Kurdistan sangat terinspirasi dengan ide-ide seorang Hasan Tiro. Mereka sangat menghromati Hasan Tiro.

Setelah tiba di hotel, di argometer taxi tersebut tercatat harga yang harus dibayar sejumlah 14,90 Euro atau sekitar 160 ribu rupiah. Sang sopir menolak menerima bayaran, sebagai penghormatan dia terhadap Hasan Tiro. Demikianlah bagaimana seorang yang jauh di benua yang berbeda, mengenal dan menaruh rasa hormat kepada Hasan Tiro, bukan pada sosoknya, tapi inspirasi dari gagasan-gasannya.

 

Gagasan Hasan Tiro tidak diawali semata-mata dengan gagasan pemberontakan, tapi lebih jauh juga memikirkan persoalan bagaimana menyusun tata kelola pemerintahan yang menjamin kesejahteraan bangsa Aceh. Sebagai seorang pegawai Republik Indonesia di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), dia menaruh perhatian dan kegelisahan yang sangat besar dalam hal sikap politik pemerintah pusat terhadap Aceh.

Buku ini menjadi penting dan diterbitkan pada momentum yang tepat, ketika perdamaian telah berlangsung selama 4 tahun, dan komitmen integrasi Aceh terhadap NKRI jelas termaktub dalam MoU Helsinki.

Hasan Tiro telah wafat, namun sejarah pemikirannya, lebih dan kurang, haruslah menjadi referensi yang penting dalam sejarah politik Aceh dan Indonesia. Bukan hanya penting untuk dibaca oleh seluruh akademisi, mahasiswa dan politisi. Tapi terkhusus untuk orang Aceh, buku ini adalah studi kritis mengenai bagaimana pergulatan pemikiran Hasan Tiro dari masa ke masa.

Hasan Tiro adalah inspirasi, tapi juga pada saat yang sama dan tidak kalah pentingnya adalah sebagai rasionalitas yang sangat bergantung pada kondisi politik. Nasionalisme Aceh hanya akan menjadi candu, jika tidak dibarengi dengan rasionalitas dan kearifan bertindak. Semoga perdamaian di Aceh tetap terjaga hingga akhir zaman.

Taufan Damanik, adalah intelektual Sumatera Utara yang sudah sejak lama bersentuhan dengan pergolakan di Aceh. Integritas dan kredibiltas yang dimilikinya semakin menguatkan bahwa buku yang dituliskannya ini merupakan karya ilmiah penting yang layak mendapat sambutan bagi publik Indonesia.



Judul: Hasan Tiro : Dari Imajinasi Negara Islam keImajinasi Etno-Nasionalis
Penulis: Ahmad Taufan Damanik

0 komentar:

Posting Komentar

Next Prev
▲Top▲