Suatu malam, musim panas di Berlin, Juli 2010. Beberapa orang Aceh
ingin makan nasi, sebagaimana halnya kebanyakan orang Indonesia, nasi adalah
makanan pokok. Didampingi oleh Gunnar Stange seorang peneliti Jerman yang
pernah tinggal di Aceh dan Saiful Haq staf FES Indonesia, maka diputuskan untuk
berjalan kaki ke rumah makan Turki yang terletak sekitar 300 meter dari Hotel
tempat mereka menginap.
Singkat cerita, setelah makan,
mereka memutuskan menumpang taxi untuk kembali ke hotel. Ditengah perjalanan,
sopir taxi menanyakan tentang identitas rombongan. Suasana menjadi berubah
setelah sang sopir mengetahui bahwa yang menumpang taxinya adalah orang dari
Aceh, dia menjadi sangat ceria dan gembira bahwa orang aceh menumpang taxinya.
“Tiro, Ja Tiro aus Aceh” katanya
dalam bahasa Jerman, maksudnya adalah Hasan Tiro dari Aceh. Rupanya sang Sopir
berasal dari bangsa Kurdistan yang sudah sejak lama melawan pemerintahan Turki.
Dia bercerita bagaimana mereka, bangsa Kurdistan sangat terinspirasi dengan ide-ide
seorang Hasan Tiro. Mereka sangat menghromati Hasan Tiro.
Setelah tiba di hotel, di argometer
taxi tersebut tercatat harga yang harus dibayar sejumlah 14,90 Euro atau
sekitar 160 ribu rupiah. Sang sopir menolak menerima bayaran, sebagai
penghormatan dia terhadap Hasan Tiro. Demikianlah bagaimana seorang yang jauh
di benua yang berbeda, mengenal dan menaruh rasa hormat kepada Hasan Tiro,
bukan pada sosoknya, tapi inspirasi dari gagasan-gasannya.
Gagasan Hasan Tiro tidak diawali
semata-mata dengan gagasan pemberontakan, tapi lebih jauh juga memikirkan
persoalan bagaimana menyusun tata kelola pemerintahan yang menjamin
kesejahteraan bangsa Aceh. Sebagai seorang pegawai Republik Indonesia di
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), dia menaruh perhatian dan kegelisahan yang
sangat besar dalam hal sikap politik pemerintah pusat terhadap Aceh.
Buku ini menjadi penting dan diterbitkan pada momentum yang tepat, ketika
perdamaian telah berlangsung selama 4 tahun, dan komitmen integrasi Aceh
terhadap NKRI jelas termaktub dalam MoU Helsinki.
Hasan Tiro telah wafat, namun
sejarah pemikirannya, lebih dan kurang, haruslah menjadi referensi yang penting
dalam sejarah politik Aceh dan Indonesia. Bukan hanya penting untuk dibaca oleh
seluruh akademisi, mahasiswa dan politisi. Tapi terkhusus untuk orang Aceh,
buku ini adalah studi kritis mengenai bagaimana pergulatan pemikiran Hasan Tiro
dari masa ke masa.
Hasan Tiro adalah inspirasi, tapi
juga pada saat yang sama dan tidak kalah pentingnya adalah sebagai rasionalitas
yang sangat bergantung pada kondisi politik. Nasionalisme Aceh hanya akan
menjadi candu, jika tidak dibarengi dengan rasionalitas dan kearifan bertindak.
Semoga perdamaian di Aceh tetap terjaga hingga akhir zaman.
Taufan Damanik, adalah intelektual Sumatera
Utara yang sudah sejak lama bersentuhan dengan pergolakan di Aceh. Integritas
dan kredibiltas yang dimilikinya semakin menguatkan bahwa buku yang
dituliskannya ini merupakan karya ilmiah penting yang layak mendapat sambutan
bagi publik Indonesia.
Judul:
Hasan Tiro : Dari Imajinasi Negara Islam keImajinasi Etno-Nasionalis
Penulis: Ahmad Taufan Damanik
0 komentar:
Posting Komentar